Kepemimpinan
sebagaimana dinyatakan Kreitner dan Kinichi (2010) adalah “process whereby an individual influences others to achieve a common
goal”. Sementara itu, Daft (2005) dalam Malik (2012) mendefiniskan leadership adalah “influence relationship among leaders and followers who intend real
changes and outcomes thus reflecting shared purposes”. Sedangkan gaya kepemimpinan sebagaimana
dinyatakan Blanchard (2011) adalah “the pattern of behavior leaders use, over
time, to influence others, as perceived by those being influenced”
Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat dinyatakan kepemimpinan adalah proses dimana seseorang
mempengaruhi orang lainnya agar secara sukarela mengikuti apa yang dikehendaki
oleh orang tersebut. Sementara gaya kepemimpinan merupakan bentuk atau prilaku
orang yang mempengaruhi tersebut.
Peran
kepemimpinan dalam suatu organisasi telah lama diteliti sehingga banyak
melahirkan teori terkait kepemimpinan. Dari berbagai teori yang ada, jika
didasarkan perspektif atau pendekatannya maka Kreitner and Kinichi (2010) menggolongkan
teori kepemimpinan kedalam beberapa kelompok antara lainnya adalah Trait Approach, Behavior Approach, dan Contigency Approach.
Dua kelompok
teori pertama, yaitu trait theories dan
behavior theorists adalah teori-teori
yang pertama kali berusaha menjelaskan pengertian kepemimpinan. Perbedaan
mendasar dari kedua teori tersebut adalah fokus pendekatannya, jika trait theories lebih memfokuskan
karekter kepribadian dari seorang pimpinan sehingga terdapat perbedaan antara pimpinan
dengan bawahan. Sedangkan, behavior
theorists memfokuskan proses yaitu bagaimana perilaku yang harus diterapkan
oleh seorang pimpinan sehingga dapat mempengaruhi tim kerja dengan efektif.
Dengan pendekatan tersebut, maka gaya dari seorang pimpinan (leadership styles) dapat diidentifikasi
dan diketahui gaya kepemimpinan terbaik yang akan efektif dalam mempengaruhi bawahan
dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Sementara
itu, teori situational theories pada awalnya merupakan teori
yang berusaha untuk menjelaskan ketidakkonsistenan hasil pengujian beberapa
peneliti terkait pelaksanaan Trait Theories
dan Behavior Theorists. Pada
intinya, teori ini menyatakan bahwa efektivitas pimpinan tidak tergantung dari
suatu gaya kepemimpinan yang dinyatakan sebagai gaya ideal (baik pada
pendekatan teori traits maupun behavior) namun gaya kepemimpinan yang
efektif mengharuskan pimpinan dapat merubah gayanya sesuai situasi yang sedang
dihadapi. Pada Situational Theories, terdapat tiga teori utama
pendukung pendekatan ini, yaitu teori yang dibangun oleh Contingency Theory, Situational Leadership dan Path-Goal theory.
Contingency Theory merupakan teori
kepemimpinan yang dibangun oleh Fred Fiedler. Teori ini merupakan teori pertama
kali yang menyatakan bahwa seorang pimpinan yang efektif adalah memimpin yang
mampu menerapkan kepemimpinan berbeda sesuai dengan situasi yang dihadapi atau contingency factors. Contingency factors berdasarkan pengertiannya, dapat didefinisikan variabel
situasional yang menyebab satu gaya kepemimpinan akan menjadi lebih efektif
diimplementasikan dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya (Kreitner and Kinichi, 2010).
Sama
halnya dengan Contingency Theory, Situational
Leadership dan Path-Goal Theory
juga mempunyai premis yang sama dengan teori tersebut. Yang membedakan antara
ketiga teori ini, adalah jumlah atau bentuk gaya kepemimpinan dan contingency factors yang dihadapi. Pada
Contingency Theory, bentuk atau gaya kepemimpinan digolongkan
menjadi dua, yaitu task oriented dan relationship oriented, sedangkan gaya
kepemimpinan pada Situational Leadership
dan Path-Goal Theory merupakan
pengembangan atau kombinasi dari dua gaya utama tadi menjadi empat gaya
kepemimpinan. Pada Situational Leadership,
gaya kepemimpinan terdiri atas directing,
coaching, supporting, dan delegating sedangkan gaya kepemimpinan pada Path-Goal Theory terdiri atas directive, supportive, participative dan achievement-oriented.
Situational Leadership
Situational Leadership,
pertama kali diperkenalkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard di tahun 1977. Di
tahun tersebut juga dibangun sebuah model atau instrumen yang dapat
menggambarkan cara untuk memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi
yang sedang dihadapi oleh seorang pimpinan. Teori ini kemudian disempurnakan
kembali oleh Ken Blanchard di tahun 1985
menjadi Situational leadership II
dengan model dengan nama yang sama.
Model tersebut pada dasarnya menghubungkan gaya kepemimpinan
yang ideal diterapkan pada suatu kondisi tertentu dengan pilihan kondisinya.
Kondisi pada teori ini merupakan implementasi dari employee development level atau dapat diistilahkan dengan tingkat kematangan bawahan. Definis dari Employee development level adalah “the extent to which a person has mastered the skills necessary for the
task at hand and has developed a positive attitude toward the task” (Blanchard
dkk, 1993). Secara rinci, model tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar Situational Leadership II
Sumber : Blanchard, dkk
(1993)
Manager Leadership Styles
|
Dari
model tersebut, dapat diketahui bahwa pada setiap development level bawahan yang dihadapi dalam hal ini terdapat
empat level maka pimpinan harus menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda juga.
Gaya
kepemimpinan tersebut pada dasarnya terbagi menjadi dua gaya yaitu directive behavior dan supportive behavior yang selanjutnya
didikombinasikan membentuk empat gaya yaitu directing,
coaching, supporting, dan delegating sementara
kondisi yang dihadapi adalah tingkat kematangan (employee depelopment) yang
terdiri atas tingkat kompetensi (pengetahuan dan keahlian) dan tingkat komitmen
bawahan (kombinansi motivasi dan kepercayaan diri seseorang dalam mencapai
suatu tujuan atas melaksanakan tugas yang diembannya).
Secara
umum gaya kepemimpinan, employee
development level dan hubungan antara keduanya dapat didefinisikan sebagai
berikut :
1. Gaya Kepemimpinan
Directive behavior, merupakan
gaya kepemimpinan yang memfokuskan apa dan bagaimana yang harus dilaksanakan
oleh bawahan. Gaya tersebut direpresentasikan dalam bentuk menyampaikan dan
menunjukan kepada bawahan apa, bagaimana, dan kapan tugas yang harus mereka
laksanakan selanjutnya melakukan monitoring dan menyediakan feedback atas hasil yang telah
dilaksanakan oleh bawahan. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya ditujukan untuk
membangun kompetensi pegawai;
Supportive behavior, merupakan
gaya kepemimpinan yang memfokuskan perilaku yang positif dari bawahan dan
membangun keterikatan bawahan dengan tujuan dan tugas yang diberikan. Gaya ini
direpresentasikan dalam bentuk mendengarkan, memfasilitasi,, membantu pemecahan
masalah, mendorong, dan melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan
ini pada dasarnya ditujukan untuk membangun komitmen dan inisiatif pegawai.
Directing, merupakan
kombinasi dari directive behavior yang
tinggi dan supportive behavior yang
rendah. Gaya kepemimpinan tersebut direpresentasikan ke dalam bentuk penyediaan
intruksi yang spesifik terkait apa dan bagaimana tugas diselesaikan.
Coaching, merupakan
kombinasi directive behavior yang
tinggi dan supportive behavior yang
tinggi. Gaya kepemimpinan tersebut direpresentasikan ke dalam bentuk
menjelaskan keputusan yang diambil oleh pimpinan, mengajak bawahan untuk
memberikan saran, bangga atas penyelesaian tugas oleh bawahan.
Supporting, merupakan
kombinasi directive behavior yang
rendah dan supportive behavior yang
tinggi. Gaya kepemimpinan tersebut direpresentasikan ke dalam bentuk
mendengarkan saran bawahan, melakukan dorongan, membuat bawahan secara mandiri
dalam pengambilan keputusan, dan turut membantu memecahkan masalah.
Delegating, merupakan kombinasi directive
behavior yang rendah dan supportive behavior
yang rendah. Gaya kepemimpinan tersebut direpresentasikan ke dalam bentuk
mendelegasikan wewenang kepada bawahan dalam menyelesaikan tugas secara mandiri
namun tetap memonitoring penyelesaian pekerjaan dengan pendekatan-pendekatan
tertentu.
2. Employee depelopment level
Didefinisikan
sebagai tingkat/derajat yang mengindikasikan keahlian dan komitmen bawahan yang
dimiliki oleh seseorang dalam memandang dan menyelesaikan suatu tugas. Tingkat
kompetensi terdiri atas pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh seorang
pegawai. Kompetensi pada dasarnya diperoleh dari pendidikan formal, pelatihan,
dan pengalaman. Sedangkan tingkat komitmen bawahan terdiri atas kombinasi
motivasi dan kepercayaan diri seseorang dalam melaksanakan tugas yang diembannya.
Motivasi pada teori ini didefinisikan sebagai level dari minat atau antusiasme
seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan sementara kepercayaan diri
merupakan level dimana seseorang percaya akan kemampuan dirinya sendiri dalam
melaksanakan suatu tugas atau tujuan.
Employee depelopment level dibedakan menjadi
empat level, yaitu :
a.
level D1, yaitu suatu level
kematangan bawahan yang mengkategorikan kompetensi yang dimiliki bawahan adalah
rendah namun komitmen yang dimiliki tinggi. Ciri-ciri dari level ini antara
lain adalah bawahan antusiasme dan siap untuk belajar atau bawahan tidak punya
kompetensi tertentu;
b.
level D2, mengkategorikan
beberapa kompetensi yang dimiliki bawahan adalah rendah dan komitmen yang
dimiliki secara keseluruhan adalah sangat rendah. Ciri-ciri dari level ini
antara lain adalah tidak mampu dan mau bertanggungjawab atas pekerjaan yang
diberikan, demotivasi, demoralisasi;
c.
level D3, mengkategorikan kompetensi
yang dimiliki pegawai mengarah ke kompetensi yang tinggi namun beberapa komitmen
yang dimiliki sangat rendah. Ciri-ciri dari level ini antara lain adalah pegawai
dapat dianggap sebagai pegawai yang berkompenten namun kurang percaya diri atas
kompetensi yang dimilikinya, mampu melaksanakan suatu pekerjaan namun
kemauannya kurang;
d.
level D4, pada level ini diketahui bahwa baik
kompetensi maupun komitmen yang dimiliki pegawai adalah tinggi. Ciri-ciri dari
level ini antara lain adalah mempunyai kemampuan dan kemauan yang tinggi dalam
menyelesaiakan pekerjaan yang diberikan.
3. Hubungan gaya
kepemimpinan dengan development level bawahan
Terdapat
dua hubungan antara gaya kepemimpinan dengan development level, yaitu
fleksibilitas dan efektivitas. Fleksibilitas gaya kepemimpinan merupakan
variasi gaya yang diterapkan oleh seorang pimpinan. Semakin sering seorang
pimpinan menerapkan beberapa gaya kepemimpinan maka gaya kepemimpinan atasan
tersebut semakin fleksibel, begitu sebaliknya semakin sering seorang pimpinan
menerapkan gaya yang sama terhadap kondisi tingkat perkembangan bawahan yang
berbeda maka semakin tidak fleksibel gaya kepemimpinan atasan tersebut.
Semantara
itu, efektivitas kepemimpinan merupakan derajat ketepatan gaya kepeimpinan
seseorang dengan tingkat kematangan bawahan berada. Adapun ketepatan antara
gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan bawahan secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 2.1. di bawah.
Tabel Kesesuaian Tingkat Perkembangan Bawahan
dengan Gaya Kepemimpinan
Development Level
|
Gaya
Kepemimpinan
|
Development
Level 1
|
Directing
|
Development
Level 2
|
Caching
|
Development Level 3
|
Supporting
|
Development Level 4
|
Delegating
|
Sumber : The
Ken Blanchard Companies, 2001
Berdasarkan
tabel tersebut dapat dilihat bahwa penentuan gaya kepemimpinan seseorang
tergantung posisi tingkat kematangan bawahan berada. pada saat tingkat
kematangan bawahan berada Development
Level 1 maka gaya yang paling tepat adalah directing begitu halnya pada
tingkat kematangan bawahan lainnya yang secara berurutan kesesuaiannya adalah
coaching untuk D2, supporting untuk D3, dan delegating untuk D4.